’’Dalam dunia periklanan (advertising) kontemporer, keberhasilan
sebuah iklan adalah ketika ia mampu ’menipu’ secara cerdik setiap
konsumen, sehingga pemakai barang / jasa tanpa reserve mengikuti apa
yang dikehendaki sang produsen, dengan suka rela dan kesadaran penuh’’
(Albert Hill, dalam Advertising’s Image, 2002:104).
Manajemen PT di Tanah Air kini memasuki tata kelola gaya university entrepreneurship. Sejak 10 tahun terakhir, berbagai PT membangun citra pelayanan kepada masyarakat melalui perang iklan. Bak politisi yang sedang menjaring suara pemilih dalam pemilu, setiap memasuki tahun ajaran baru, media dibanjiri iklan perguruan tinggi, dengan beragam bentuk dan model.
Teknik pencitraan melalui pemasangan iklan di berbagai media itu terbukti efektif menjaring calon konsumen untuk jatuh hati, dan akhirnya menentukan pilihannya. Hal ini membuktikan, iklan yang dikemas apik tak hanya mampu membangun dan memulihkan citra suatu produk, tetapi juga sukses ’’menipu’’ calon konsumen, seperti disampaikan Hill.
Pertanyaannya, mungkinkah mereka menggugat manajemen PT terkait dengan iklan bodong PT di media, jika fakta dan data yang disajikan ternyata berbalikan? Apa hak masyarakat untuk mengontrol iklan tersebut agar tak merugikan kedua belah pihak?
Sistem akuntabilitas publik, khususnya manajemen PT di Indonesia, memang belum sampai kepada pertanggungjawaban publik yang bisa diuji secara hukum nasional. Selain itu, belum ada aturan yang mewajibkan mereka untuk melakukan uji pertanggungjawaban publik atas apa yang disampaikannya kepada khalayak umum.
Namun khalayak, masyarakat, dan calon mahasiswa bisa melakukan uji pribadi dengan menilai dan mengukur kejujuran, kebenaran, dan kevalidan iklan PT dengan teknik track record examination. Langkah tersebut kini makin strategis dilakukan masyarakat / calon mahasiswa, sebelum ia benar-benar menjadi bagian dan kuliah di PT tersebut.
Cara Menguji
Dalam buku University Honesty (How to Assess the Truth of University Advertisment), Debby Malcolm (2006) menyebutkan di era liberalisme pendidikan tinggi dewasa ini, masyarakat mestinya mengedepankan kritisisme sehingga tak mudah dipermainkan oleh manajemen PT.Malcolm menyebutkan ada dua strategi menguji tingkat kejujuran, kebenaran, dan validitas iklan PT. Pertama, benchmarking, yakni membandingkan antara fakta masa lalu dan fakta masa kini, baik dalam output produk jasa layanan maupun alumninya.
Apakah fakta dan data yang disajikan PT tersebut benar dan jujur, atau sebaliknya, dapat terlihat jelas dari rekam jejak sejarah dalam periode tertentu. Makin mustahil fakta-data yang disajikan, makin bodong iklan tersebut. Begitu pula sebaliknya.
Kedua, fakta-data yang alamiah dan nalar-wajar. Di Amerika, kata Malcolm, sekitar 75 persen fasilitas atau sarana-prasarana yang disajikan dalam iklan PT adalah bodong belaka, dan hanya 25 persen yang jujur dan benar.
Memang ada yang benar, tetapi lebih banyak yang bodong. Karena itu, nalar dan kewajaran menjadi filter penting yang akan menyaring berjuta data dan informasi yang disajikan dalam iklan perguruan tinggi.
Dengan sikap tersebut, masyarakat sudah menolong dirinya sendiri untuk tidak terjebak, apalagi tertipu, hanya oleh iklan sabun PT. Banyak media dan bahan rujukan lain yang bisa diakses masyarakat, untuk mengetahui kejujuran dan kebenaran iklan tersebut.
Bagi manajemen PT sendiri, berbohong dalam beriklan sebenarnya merupakan upaya bunuh diri dan menggali kubur sendiri. Sebab, langkah demikian hakikatnya adalah ’’bom waktu’’ yang siap meledak kapan dan di mana pun.
(suara merdeka)
Comments
Post a Comment