Jika kita mau meluangkan sedikit waktu melirik beragam berita akhir-akhir ini, ada fenomena sosial yang perlu mendapatkan perhatian kita, selain kasus korupsi yang tidak henti, yaitu fenomena kejahatan siber (cyber crime). Kejahatan ini maujud dalam banyak bentuk, mulai dari akses tanpa hak ke sistem komputer, pencurian data, sampai dengan penyebaran konten pornografi dan pelecehan online. Sialnya, setiap pengguna teknologi informasi dan komunikasi, terutama Internet dan segala macam gadget pengaksesnya, rentan sebagai korban sekaligus pelaku. Kok bisa? Saat ini, sebagian besar dari kita, tidak hanya sebagai konsumen konten digital, tetapi juga sekaligus sebagai produsennya. Kombinasi kedua peran inilah yang sering disebut dengan prosumen (produsen dan konsumen) atau prosumer (producer and consumer). Hadirnya teknologi Web 2.0 dan beragam gadget pintar telah memfasilitasi peran ini.
Berita pembuatan dan penyebaran video dan foto tidak senonoh oleh siswa SMP dan pacar seorang polisi adalah contoh aktual. Bermodal ponsel dengan kemampuan merekam video, siswa SMP ini telah memproduksi konten digital, termasuk menyebarkannya. Seorang polisi wanita dapat dengan mudah memproduksi konten digital dengan dirinya sebagai model dan pacarnya menyebarkanya di dunia maya. Atau, dengan kamera ponselnya seorang polisi bisa merekam auratnya. Jika kita meluangkan sedikit waktu untuk berselancar di Internet, pelecehan online juga dapat dengan mudah kita jumpai. Konten (tulisan dan gambar) yang tidak proporsional dan melecehkan orang lain, dan tidak sepantasnya menjadi konsumsi publik dapat dengan mudah ditemukan. Contoh di atas hanya ilustrasi dan bukan kasus pertama. Kasus serupa telah terjadi berulang-ulang di banyak tempat di Indonesia.
Mengapa bisa terjadi? Salah satu jawabannya adalah rendahnya kendali diri. Kendali diri yang rendah cenderung membuat orang bertindak impulsif tanpa pemikiran matang akan dampak dari tindakannya. Untuk apa? Banyak motif yang dapat diidentifikasi. Dua di antaranya adalah untuk kepuasan sesaat (short-term gratification) dan menghilangkan rasa sakit (avoidance of pain), termasuk balas dendam. Hal ini diperparah dengan rendahnya pengetahuan pelaku. Sebagai contoh, saya tidak yakin kalau siswa SMP yang menjadi ‘produser’ konten tidak senonoh tersebut tahu dampak dari perbuatannya. Secara lebih serius, sosiolog Gottfredson dan Hirschi telah mengembangkan ‘teori kendali diri’ untuk menjelaskan mengapa seseorang melakukan kejahatan atau melanggar peraturan atau norma yang berlaku.
Pedulikah kita? Bayangkan ketika kita melihat gedung dengan beberapa jendela pecah. Apabila jendela pecah tidak segera diperbaiki, banyak orang yang sering melihatnya akan menganggap bahwa jendela pecah bukan sebuah masalah dan gedung dianggap tidak bertuan. Jangan heran jika semakin banyak jendela pecah. Pembiaran telah mengakibatkan eskalasi masalah. Inilah ‘teori jendela pecah’ yang dikembangkan oleh kriminolog Wilson dan Kelling. Saya dapat menjamin, tanpa kepedulian bersama, fenomena kejahatan siber yang diilustrasikan di atas tidak akan berkurang apalagi berhenti, tetapi justru akan meningkat. Tetapi, saya yakin bahwa sebagian besar kita tidak menginginkannya terus terjadi, apalagi jika kita atau orang yang kita kasihi menjadi korban. Ini adalah salah satu bentuk kendali sosial.
Apa yang bisa dilakukan? Pendidikan dengan segala bentuknya adalah sebuah keharusan. Tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan yang memadai dan kesadaran yang cukup, supaya tidak semakin banyak ‘jendela yang pecah’. Ujungnya adalah membentuk kendali diri (dan sosial) yang baik. Di sini, peran banyak pihak, termasuk orang tua, sekolah, lingkungan sosial, media massa, dan pemerintah, diperlukan. Tidak mudah memang, tetapi harus terus dijalankan. Kurangnya pendidikan ini juga nampaknya yang menyebabkan mengapa banyak dari pelaku tidak belajar dari kasus-kasus sebelumnya.
(Sumber: Kolom Analisis KR 2 Nov 2013)
Comments
Post a Comment