Coba hitung sendiri; berapa jam untuk bekerja mencari nafkah? Berapa untuk olahraga termasuk senam pagi agar kondisi tubuh fit? Berapa untuk rekreasi termasuk “rekreasi dinamis” untuk menyegarkan kembali fikiran yang stress? Berapa untuk kerja-kerja sosial seperti arisan dan sebagainya? Berapa untuk kegiatan-kegiatan organisasi ini itu? Berapa untuk istirahat dan tidur? Lalu membaca koran/majalah, nonton tv dan sebagainya dan seterusnya? Belum lagi jika dihitung ‘kegiatan’ menunggu dalam kemacetan lalu lintas.
Jadi umumnya kita memang tak cukup punya waktu untuk njlimeti persolan yang tidak atau tidak segera tampak ada kaitannya langsung dengan kepentingan diri kita sendiri? Kiranya untuk persoalan-persoalan yang seperti itu, ‘partisipasi’ kita cukuplah dengan meramaikan sambil lalu bersama mass media. Misalnya dengan sedikit menyumbang pernyataan atau pendapat, sedikit usulan atau kalau perlu protes dan demontrasi. Nanti persoalan-persoalan itupun akan selesai dengan sendirinya.
Mereka yang mempunyai gairah, semangat dan kepedulian, yang besar terhadap agama pun, apabila terdorong ghirah mereka untuk menanggapi suata persoalan sering kali tidak sempat sekadar menengok tuntunan agama mereka sendiri itu mengenai bagaimana seharusnya menanggapi persoalan semacam itu yang menyangkut agama, kalaupun ada konsultasi sebelumnya paling banter yah kepada akal pikiran dan emosi atau itikad kelompok sendiri jarang yang sampai kepada Allah, untuk dan demi siapa mereka hidup dan beragama.
Ambilah contoh persoalan-persoalan yang menyangkut ukhuwah islamiah dan muamalah bainan-naas kalaupun merujuk misalnya kepada firman Allah atau Rosul-Nya, biasanya terlebih dahulu kita kenakan “kaca mata hitam putih” kita sendiri. Kita benci dulu kepada saudara kita, misalnya lalu kita mencari-cari dalil-dalil yang bisa mengkaitkannya dengan hal yang tidak disukai Allah; dengan demikian akan mudah kita mengambil keputusan saudara kita itu dibenci Allah; karena kita perlu ganyang. Kita curiga dulu terhadap suatu kelompok, setelah itu mudah kita cari hujjah atau argumentasi membabat setiap gagasan, atau bahkan sekadar pendapat, dari kelompok tersebut.
Ini jauh lebih mudah. Tidak banyak menyita waktu dan energi, ketibang harus cape-cape mengatur diri agar obyektif, mengkaji masalah secara jernih; dan dengan lurus merujuk firman Allah dan atau sabda Rosul-Nya.
Waba’du; Allah menyuruh kita kaum Mukminin untuk menjuhi prasangka-prasangka mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunjing sesama (Q.s.49:12). Tapi mana kita punya waktu untuk lebih dari sekadar perprasangka dan mencari-cari kesalahan orang lain, kalau kita terlalu sibuk denagn diri kita dan kelompok sendiri?
Biasanya dengan dalih menegakkan kebenaran atau menjaga kesucian agama, prasangka dan larangan-larangan yang sudah digariskan Tuhan pun lalu diangap halal atau dilupakan. Padahal menegakkan kebenaran bagi kaum beriman pun ada cara dan rambu-rambunya. (Baca misalnya, Q.s.4:135 Q.s 5:8) Atau kita juga punya cukup waktu atau na’udzu billah, kita terlalu angkuh dan merasa tidak perlu untuk mendengarkan firman Allah tentang sikap dan prilaku yang harus kita ambil dan jalani? Semoga Allah mengampuni kita. {}
(Bisri, A. Mustofa. 2008. Mencari Bening Mata Air. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Halaman 50).
Comments
Post a Comment