Image by: |
BEBERAPA hari yang lalu, Transparency International kembali meliris Corruption Perceptions Index (CPI) 2013 teranyarnya. Dari lima negara terbersih, empat di antaranya adalah negara Skandinavia: Denmark (dengan skor 91), Finlandia (89), Swedia (89), dan Norwegia (86). Negara ‘terkotor’, dari 177 negara yang disurvei, adalah Somalia (8), Korea Utara (8), dan Afganistan (8). Indonesia berada di peringkat 114, naik empat tingkat dari tahun 2012 (118), meski dengan skor yang sama, 32. Konsisten.
Adakah yang aneh? Bukankah dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menjalankan banyak inisiatif untuk memerangi korupsi? Tetapi menurut CPI ini, nampaknya belum berdampak. Salah satu inisiatif yang menurut saya, berhasil, adalah sistem eProcurement, pengadaan barang/jasa online. eProcurement sangat penting dalam perang terhadap korupsi di Indonesia. Pada tahun 2011, data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa 80% dari 55.000 pengaduan yang masuk terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberikan gambaran serupa: 80% dari laporan berhubungan kasus pengadaan barang/jasa.
Sejak diterapkan pada tahun 2008, sistem eProcurement sudah melayani 116.600 lelang di 731 lembaga pemerintah, dengan nilai mencapai Rp 353,9 triliun. Sistem ini telah memberikan penghematan 11,04% atau sebesar Rp 43,9 triliun. Capaian yang sangat fantastis! Pertanyaannya: mengapa capaian luar biasa ini tidak mempunyai dampak yang tercermin dalam CPI?
Sulit mencari jawaban pasti. Tetapi, paling tidak terdapat dua penjelasan spekulatif yang membutuhkan riset lebih seksama untuk memastikan. Pertama, bisa jadi, keberhasilan inisiatif eProcurement ‘dihapus’ oleh kasus-kasus korupsi di ranah yang lain. Karena CPI adalah indeks persepsi, bisa jadi kasus-kasus besar yang sering dieskpos oleh media massa mempengaruhi persepsi responden dalam memberikan jawaban ketika disurvei. Sampai hari ini, rasanya sangat sulit mencari hari tanpa berita korupsi di media massa.
Namun bisa juga, Kedua, inisiatif eProcurement yang ada belum dapat memupus semua mata rantai kejahatan korupsi. Sistem eProcurement yang sekarang digunakan sebagian besar masih berfokus pada fasilitasi proses tender, menggantikan proses yang dulunya mengharuskan tatap-muka langsung. Tatap-muka inilah yang dipercaya membuka lebar pintu ‘perselingkuhan’ yang melahirkan pratik korupsi.
Selain belum semua proses pengadaan menggunakan sistem eProcurement, potensi korupsi dalam pengadaaan barang/jasa melingkupi semua spektrum mulai dari identifikasi kebutuhan proyek, penentuan spesifikasi, proses tender, sampai dengan pelaksanaan proyek. Sebagai contoh, pada tahap identifikasi proyek, praktik tidak etis dapat berbentuk ‘pemalsuan’ kebutuhan untuk menjustifikasi pengadaan barang/jasa. Praktik jahat yang mungkin dilakukan pada proses penentuan spesifikasi termasuk kesengajaan mereka-reka spesifikasi untuk membatasi partisipasi rekanan atau condong ke rekanan tertentu.
Pada tahapan pelaksanaan pekerjaan, contoh praktik tidak terpuji yang mungkin dilakukan adalah penggunaan material dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan bestek yang disepakati. Audit pekerjaan yang jujur sangat diperlukan dalam tahapan ini. Tanpa mengecilkan prestasi yang sudah dicapai, sistem eProcurement yang ada nampaknya belum dapat memagari semua potensi praktik jahat di atas. Ini adalah tantangan pengembangan sistem eProcurement ke depan. Tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin diupayakan. Sampai hari ini, publik masih memimpikan bangsa yang bermartabat dan bebas dari praktik korupsi. Mudah-mudahan mimpi itu berangsur menjadi kenyataan seiring dengan berjalannya waktu. (*) (Sumber:krjogja.com)
Comments
Post a Comment