Pernahkah Anda mendengar istilah ‘memplokoto’?.
Kalau kita searching di google istilah ‘memplokoto’ berasal dari bahasa jawa
yang sinonimnya dipulosoro. Contoh; si Andi ‘memplokoto’ si iwan, itu artinya
sadar atau tidak sadar si Iwan telah dipentung dari belakang oleh si Andi
walaupun kelihatannya si Andi menolong si Iwan. (nama Andi dan Iwan hanya ilustrasi)
Kalau kita cermati kejadian
senada banyak terjadi di organisasi maupun di lingkungan masyarakat. Telah banyak
pembahasan baik di forum resmi maupun tidak resmi tentang kritikan-kritikan
tentang suatu kebijakan tetapi tentu saja banyak yang beranggapan ‘kenapa kita
ngurusi yang tidak perlu’, mungkin saja topiknya dianggap tidak menarik atau
tidak seksi untuk sebagian orang.
Pertanyaanya, sadarkah kita telah
diplokoto?. Seandainya kita sadar, sudah bisa dipastikan kita hidup dengan
keputusasaan atau kita menganggap kita terlalu lemah. Seandainya kita tidak
sadar dan kita menikmati pristiwa demi pristiwa, sesungguhnyalah tingkat analisis
kita yang kurang baik.
Contoh kasus yang saya ambil dari
tulisan DR. Fathul Wahid, bisa kita petik pelajaran dari kasus di bawah ini;
Bayangkan Pak Lurah yang suka secara rutin mentraktir dengan menu
pilihan dan mengajak plesir banyak kepala keluarga di desanya. Apakah mereka
tidak senang? Mungkin hanya yang ‘bodoh’ yang meras tidak senang. Tetapi, coba
tanya kepada mereka, ‘apa manfaatnya untuk keluarga mereka?’. Tidak sulit
dibayangkan, bahwa mereka tidak bisa berkata-kata. Atau bahkan malah ‘ngeles’?
“Lha, Pak Lurah tidak ngasih uang untuk beli oleh-oleh?”. Mengapa bisa
demikian? Mereke terbiasa disuapi, tidak dididik bermental ‘tahan banting’ dan
anti ‘ngeles’. Yang diproduksi, sebaliknya, adakah ‘anak mama dan papa’, yang
tinggal teriak jika butuh sesuatu dan marah jika maunya tidak terpenuhi. Bisa
jadi niat Pak Lurah mengenalkan nilai, namun yang diingat warganya hanya ‘makan
gratis dengan menu pilihan’ dan ‘plesir’. Tidak lebih. Karena itulah yang
sering juga dipahami oleh anak buah Pak Lurah ketika menyampaikannya ke warga.
Banyak acara tapi minim nilai yang ditanamkan, atau paling tidak yang tertanam.
Acara hanya menjadi ritual rutin minim makna dan bekas jangka panjang.
Comments
Post a Comment