MENURUT teori pola asuh, gangguan kepribadian obsesif
kompulsif atau sering dikenal dengan sebutan “perfeksionis” muncul karena pola
asuh yang otoriter, penuh dengan larangan, kritik, dan celaan atau bersifat
memaksa. Pola asuh demikian menyebabkan seseorang berkembang dalam situasi yang
tak menyenangkan.
Perfeksionis, kata yang sering kita dengar dan kita juga sering
mengucapkan atau melabelkan seseorang dengan sifat perfeksionis, karena
seseorang itu sangat perfek (sempurna). Apapun yang ia kerjakan ia selalu
menginginkan perfek, sehingga terkadang dia tidak mempercayai penyelesaian
tugas tersebut kepada orang lain.
Jika pun itu harus ia lakukan, seseorang yang ia beri pekerjaan
harus juga bisa menyelesaikan pekerjaan tersebut sempurna seperti yang ia lakukan.
“Orang yang memiliki sifat perfeksionis, orang yang menginginkan hasil kerja
yang ia lakoni atau pekerjaan yang dilakukan bawahannya sesempurna mungkin,”
kata psikolog klinis, Dra Hamidah MSi, Sabtu (22/5).
Sifat perfeksionis ini dianggap wajar jika seseorang itu masih
memiliki sikap toleran, dianggap sebagai gangguan jika sudah mulai memaksakan
kehendak, menginginkan seseorang itu bisa mengerjakan ini dan itu sesempurna
yang ia lakukan. Psikolog yang lagi menimba ilmu di Universitas Kebangsaan Malaysia
untuk program S3-nya itu memaparkan, seorang perfeksionis yang wajar adalah
seorang yang mengharapkan hasil kerja sempurna. Namun ia memiliki sifat yang
toleran, tidak kaku dan terpaku pada standar yang tinggi, tidak memaksakan
kehendak, masih mampu menjalin relasi yang hangat dengan orang lain.
Juga katanya lagi, tidak terlalu perhitungan untuk kepentingan
diri sendiri dan orang lain, tidak kaku terhadap aturan, norma dan etika, dan
tidak mengharapkan semua orang tunduk kepada dirinya serta minta selalu
dianggap orang yang paling hebat. Apabila seorang yang dianggap perfeksionis
disertai dengan sebagian atau keseluruhan sifat yang tertera di atas, keadaan
itu bukan perfeksionis lagi tetapi sudah termasuk gangguan. “Sebab selain sifat
perfeksionis, dia juga memiliki sifat-sifat sebagaimana tersebut di atas, dan
sifat ini sangat mengganggu atau menghambat orang lain. Gangguan ini sering
dikategorikan sebagai gangguan kepribadian tipe obsesif kompulsif yakni
bersifat memaksa atau Obsesive Compulsive Personality Disorder (OCPD)”, kata
dosen Universitas Airlangga Surabaya ini kepada Kontras.
Mengenali Gangguan Kepribadian Obsesif Kompulsif
Sebab terjadi obsesif kompulsif
Dikatakan Hamidah, sejumlah psikater meyakini gangguan ini bisa
ini dapat dialami oleh seseorang karena beberapa kemungkinan. Pertama
berdasarkan teori psikodinamika dari Freud, seseorang dapat mengalami gangguan
ini jika masa perkembangan fase anal dalam proses pembelajaran toilet training
yang sangat kaku atau otoriter. Seseorang akan merasa kurang mampu melakukan
kebersihan diri secara sempurna, sehingga dia berusaha selalu berperilaku
bersih.
Sedangkan menurut ahli neurologi, seseorang yang mengalami cedera
otak bagian depan (lobus frontalis) mungkin karena kecelakaan atau gangguan
stroke, maka akan menurunkan fungsi-fungsi otak tersebut karena adanya
kerusakan syaraf, sehingga dapat merubah pikiran dan perilakunya.
“Menurut teori pola asuh, gangguan ini dapat muncul karena adanya pola asuh
yang sangat otoriter, penuh dengan larangan, kritik dan celaan. Pola asuh yang
demikian akan menyebabkan seseorang berkembang dalam situasi yang kurang
menyenangkan, sehingga ia juga belajar dari pola asuh dan perilaku dari
keluarga dan lingkungannya,” ucap Hamidah.
Karakter perfeksionis
Ada beberapa karakter yang ditunjukkan oleh orang yang
perfeksionis, berbeda dengan orang yang mengalami gangguan OCPD. Seorang
perfeksionis menuntut hasil kerjanya dan orang lain secara sempurna. Namun ia
masih mampu menjalin relasi sosial dengan orang lain secara hangat, masih dapat
mentoleransi beberapa aturan.
Biasanya tidak kaku, taat pada aturan tertentu, tidak memiliki
standar yang jauh di atas standar yang ditentukan, dan tidak perhitungan dan
pelit terhadap diri sendiri atau orang lain.
Sedangkan orang yang mengalami gangguan OCPD adalah orang yang
memiliki karakter yang dapat mengganggu dan menghambat orang lain dalam
berhubungan dengannya, baik dalam lingkup pekerjaan maupun secara sosial.
Berikut karakter orang yang mengalami gangguan OCPD:
1. Perasaan
ragu-ragu dan hati-hati berlebihan.
2. Terpaku
kepada rincian, peraturan, daftar, perintah, organisasi, dan jadwal, dan
perhitungan (terlalu normatif).
3. Perfeksionis
yang menghambat penyelesaian tugas.
4. Ketelitian
yang berlebihan dan cenderung tidak
sebagaimana mestinya misal
dalam menciptakan kesenangan.
5. Terpaku
dan tertarik berlebihan pada kebiasaan sosial.
6. Kaku dan
keras kepala.
7. Mamaksakan
kehendak agar orang lain melakukan sesuatu menurut caranya. Sukar mengizinkan
orang lain melakukan sesuatu.
8. Mencampuradukkan
pikiran atau dorongan bersifat memaksa atau yang tidak disukai.
9. Sangat
perhitungan dalam menyimpan sesuatu, baik untuk dirinya sendiri atau terhadap
orang lain.
Contoh kasus
Seorang karyawan memiliki bos dengan gangguan OCPD. Seorang karyawan mengeluh kepada temannya tentang perasaan tidak mampu yang menghinggapi dirinya sejak beberapa bulan terakhir ini.
Ia merasa apa yang dikerjakannya tak pernah benar menurut bosnya, selalu saja ada yang salah, sampai ia harus membetulkan atau merevisi pekerjaan itu beberapa kali. Selain itu pekerjaan yang dia buat harus selalu memenuhi standar yang tinggi dari bosnya, padahal ketika pekerjaan itu dikoreksi oleh pimpinan lain sudah layak untuk diterima. Hal ini membuat ia putus asa, merasa tidak mampu, jengkel, dan ketakutan kalau menerima tugas dari bosnya lagi. “Kalau si bos menyadari dan berkonsultasi maka si bos akan mengubah perilakunya. Namun kalau si bos tak sadar dan tak ada yang mengarahkannya ke psikiater atau psikolog, penderitaan ini akan dialami oleh semua bawahannya. Kalau keadaan ini tidak ditangani secara serius dapat menyebabkan stres yang berkepanjangan dan depresi,” kata Hamidah.
Solusi klinis
Seorang penderita gangguan kepribadian jenis OCD ini sering kali tidak mengenali gangguan pada dirinya. Dia merasa tak mengalami perubahan apa-apa, bahkan lingkungan pun yang bukan ahlinya juga kurang mampu mengenali gangguan kepribadian.
Biasanya lingkungan hanya mengenalnya sebagai orang yang sulit untuk berinteraksi dan berelasi dengan orang lain. Gangguan ini dapat disembuhkan, asalkan penderita atau lingkungan menyadari bahwa individu itu mengalami gangguan sehingga yang bersangkutan punya keinginan dan komitmen dalam menjalani terapi.”Terapi yang dapat diberikan untuk membantu individu dengan gangguan ini adalah dengan farmako terapi atau terapi obat. Terdapat beberapa jenis obat tertentu yang berfungsi untuk mengendalikan perilakunya, melalui sistem syaraf sehingga frekwensi atau keseriusannya berkurang,” sebut Hamidah.
Kedua, kata Hamidah yang perlu dilakukan adalah psikoterapi, yaitu dengan pendekatan kognitif behavior. Terapi ini memberi inervensi kepada kognitif (pengetahuan) maupun perilakunya sehingga individu menyadari apa yang dipikirkan, dilakukan dan diinginkan selama ini tak lazim atau merugikan orang lain. “Dengan kesadaran seperti itu diharapkan orang tersebut juga akan mengubah perilakunya melalui penurunan standar atau target yang dia inginkan. Untuk psikoterapi ini komitmen dan dukungan dari lingkungan sangat diperlukan untuk dapat membuat perubahan secara signifikan,” katanya. (Saniah LS)
sumber: Gangguan Obsesif Komplusif
Comments
Post a Comment